Oleh Hanif Kristianto, S.Pd (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
Dunia tidak berhenti menyorot Indonesia. Sebuah negera berkembang dengan berbagai potensi yang ada. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), dan keragaman budaya tidak pernah terawat dengan baik. Ada kalanya pandangan Internasional ke Indonesia berupa pujian. Pujiannya sebagai negara Demokrasi terbaik. Hal itu dibuktikan dengan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Serta rakyat bisa berpartisipasi langsung dalam pemilu. Bahkan presiden AS, Barack Obama dan Perdana Menteri Inggris David Cameron datang langsung ke Indonesia untuk memberikan pujian dan penghargaan.
Sisi lainnya, dunia juga memberi stempel Indonesia sebagai Failed State (Negara Gagal). Tak tanggung-tanggung LSM Fund for Peace (FFP) yang berlokasi di Washington, AS merilisnya. Kegagalan Indonesia sebagai negara ditunjukkan dengan berbagai indikator. FFP terlebih menyoroti masalah HAM dan penindasan pada minoritas. Pro dan kontra sebagai respons atas rilis FFP. Yang Kontra tentu dari kalangan Pemerintah maupun yang Pro Pemerintah. Yang Pro dari kalangan yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Terlepas dari Pro dan Kontra atas rilis FFP, jika diamati mendalam kegagalan Indonesia sebagai negara hampir menyeluruh di setiap aspek kehidupan. Kalaulah tidak mau disebut sebagai negara gagal. Lantas, mau disebut negara apa? Negara yang tidak jelas? Atau negara yang memang tidak punya arah? Atau bahkan negara antah berantah?
Gembar-gembor keberhasilan pemerintah selama ini, seolah menjadi lips service bagi rakyat. Rakyat dianggap sudah percaya pada pemerintah. Rakyat dianggap cukup paham bahwa mereka diperhatikan, walaupun tidak semuanya. Padahal faktanya rakyat sudah muak, benci, sakit hati, dan ingin perubahan. Lagi-lagi rakyat tidak tahu caranya. Mereka ingin bersuara kepada wakil rakyat. Malahan wakil rakyat tidak menyontohkan sikap berpolitik yang baik. Mereka hanya mewakili kelompok dan golongannya saja. Mereka ingin demo dan berteriak-teriak khawatir dikatakan rakyat tidak tahu berterima kasih. Kadang-kadang ekspresi rakyat diekspresikan dengan tindakan kekerasan, bunuh diri, bakar diri, dan lainnya. Seharusnya pemerintah lebih prihatin dan koreksi diri.
Indikasi Gagal
Sebuah negara dikatakan gagal jika tidak dapat menyejahterakan rakyat. Negara adalah entitas dari bentuk pelayanan kepada rakyat. Ketika rakyat tidak sejahtera yang terjadi rakyat tersandera dalam keterpurukan. Baik keterpurukan dalam bidang sosial maupun dalam setiap aspek kehidupan.
Pondasi negara yang paling penting adalah ideologi dan sistem. Indonesia menjadi negara gagal disebabkan ideologi yang ada tidak jelas. Otomatis sistem yang ada juga tidak jelas. Semua amburadul. Kalaupun punya ideologi dan sistem itu pun mengekor kepada bangsa lain.
Ada tiga bukti kegagalan mendasar bagi Indonesia. Tiga hal mendasar yaitu sistem politik, ekonomi, dan hukum. Sistem politik di Indonesia tidak mampu memberikan kebijakan yang pro-rakyat. Justru pemerintah dan aggota dewan menjadi contoh buruk penerapan politik. Rakyat tidak pernah mendapat pendidikan politik yang benar. Semisal dana asing dari Bloomberg initiatives miiaran rupiah kepada anggota DPR periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 untuk bersedia membantu pembuatan UU Kontrol atas Efek Tembakau terhadap kesehatan. Sebagaimana juga yang dirilis oleh Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) Juni 2012 bahwa DPR merupakan lembaga terkorup. Dan kisruh Pilkada di Jatim pada tahun 2008.
Sistem ekonomi yang diterapkan Indonesia belum memberikan keadilan bagi semua. Kekayaan rakyat Indonesia hanya dinikmati 40-50 orang terkaya di Indonesia. Nota benenya mereka adalah pengusaha besar. Keberhasilan ekonomi yang selama ini didengungkan hanya ekonomi makro berupa angka-angka. Yang anehnya rakyat tidak paham pencapaian ekonomi yang diinginkan pemerintah. Mengingat rakyat masih merasakan kepahitan hidup dan kesulitan ekonomi. Padahal Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia sedemikian melimpah. Baik Sumber Daya Alam yang terkandung di daratan dan perairan.
Sistem hukum tidak kalah jauhnya dari rasa keadilan. Hukum tumpul ketika ke atas (pejabat pemerintah). Sementara itu tajam ke bawah (rakyat). Penegakkan hukum menjadi tebang pilih. Rakyat sering mendapat kesewenangan dalam hukum. Ketidaktahuan rakyat dalam hukum mengakibatkan rakyat sering melanggar. Mafioso peradilan, mafia hukum, ketidak adilan dan ketidakpastian hukum menjadi pemandangan umum. Perangkat-perangkat hukum justru menjadi pelanggar terbesar di negeri ini. Contohnya pada masa Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, KY telah mengajukan 28 hakim untuk dijatuhkan sanksi terkait pelanggaran. Namun sayangnya, rekomendasi tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Di era kepemimpinan Harifin A. Tumpa, dari 11 hakim yang direkomendasikan untuk dikenakan sanksi, baru dua yang ditindaklanjuti.
Jika rakyat tidak mendapatkan rasa aman, kesejahteraan ekonomi, dan kemampuan dalam mengoreksi. Maka yang terjadi rakyat muak, benci, dan marah. Rakyat kian apatis, pesimis, dan frustasi. Tidak tahu harus berbuat apa untuk meraih kesejahteraan hidup. Rakyat akhirnya menggunakan caranya sendiri dengan berbagai tindakan amoral. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan kriminalitas. Korupsi berjamaah. Beramai-ramai rakyat membakar fasilitas umum seperti ketidakpuasan dalam pilkada. Rakyat membakar gedung KPU, gedung pemerintahan, dan fasilitas umum.
Bertolak belakang dengan itu semua. Pemerintah dengan alasan ketertiban umum mengusir rakyat yang tinggal di kolong jembatan, PKL, dan penertiban tempat liar. Pemerintah pun menunjukan politik pencitraan dengan berbagai dalih. Pemerintah pun tebang pilih dalam pengusutan kasus yang menyangkut pejabat pemerintah. Kalaupun diusut hanya bersifat kulit semata. Tak pernah tuntas. Kesejahteraan hanya diberikan jika pemerintah merasa terpojok. Sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM. Ketika rakyat ramai unjuk rasa. Baru pemerintah sadar dan menunda kebijakannya.
Alih-alih ingin menyejahterakan rakyat. Pemerintah malah mengeluarkan kebijakan tidak populis. Bahkan cenderung membuang kepercayaan rakyat. Jika rakyat sudah tidak percaya. Lantas, pemerintah ini sebenarnya melayani siapa?
Kesalahan Sistemik
Sudah jelas Indonesia menjadi negara gagal jika dilihat dari tiga sisi tersebut. Walaupun di sisi lain pun sama. Selama ini Indonesia bukanlah negara berideologi maupun bersistem yang berdaulat. Seringkali seiring berganti pemimpin, ideologi pun ikut berganti. Masa Presiden Soekarno Indonesia condong kepada Sosialis-Komunis. Walaupun dibungkus dengan religius. Masa Presiden Soeharto Indonesia condong ke Barat dengan menganut kapitalis-liberal. Sistem yang ada juga dibungkus dengan otoriter. Semenjak reformasi sampai sekarang Indonesia bertambah liberal. Kebebasan di setiap lini kehidupan. Semua itu menunjukkan sesungguhnya Indonesia bukan negara berdaulat. Jika berdaulat saja tidak, maka menunjukkan Indonesia sebagai negara pengekor. Bahkan menjadi jajahan baru bagi negara adidaya. Penjajahan dengan berbagai ragam bentuknya. Selama itu pula ideologi yang dianut tidak memberikan kesejahteraan. Justru Indonesia berada di jurang kehancuran.
Berdasar dari ideologi yang dianut, maka jelas aturan atau sistem yang juga sama. Ideologi yang salah dan tidak menyejahterahkan maka sistem yang dihasilkan akan salah dan tidak menyejahterahkan. Kesalahan paradigma inilah yang membuat kesalahan sistemik. Lihatlah rakyat seperti mati di negeri sendiri, karena tidak dapat menikmati kekayaan alam. Lihatlah rakyat seperti orang buta di negeri sendiri, karena tidak mendapat pendidikan layak. Lihatlah rakyat seperti orang pincang di negeri sendiri, karena tidak mendapat keadilan. Bahkan rakyat seperti orang asing di negerinya sendiri. Sungguh ironis.
Jika demikian adanya maka Indonesia harus berubah. Berubah menjadi negera yang mengurusi urusan rakyatnya. Negara yang menyejahterahkan semua rakyatnya. Negara yang melindungi, mengayomi, dan melayani rakyatnya. Selama Indonesia mengambil ideologi dan sistem yang salah, maka akan menjerumuskan ke jurang kegagalan sebagai negara. Idologi dan sistem yang salah jelas berasal dari pemikiran manusia yang lemah. Sebagaimana ideologi kapitalisme dan sosialisme. Kedua ideologi tersebut jelas telah menyengsarakan manusia selama ini. Kalaupun ada kesejahteraan yang didapat negara penerap ideologi tersebut. Itu pun kesejahteraan yang semu. Sehingga tidak ada pilihan lain jika Indonesia ingin menjadi negara tidak gagal. Maka harus mengambil ideologi dan sistem dari Sang Pencipta. Dari Allah yang Maha Benar yaitu Syariah Islam. syariah akan diterapkan secara kaffah dalam bingkai Negara Khilafah. Terbukti Negara Khilafah merupakan model negara yang menyejahterahkan.
Khilafah Menyejahterahkan
Khilafah sebuah negara yang sah dalam Islam. negara warisan Rasulullah SAW yang menerapkan hukum-hukum Allah. Khilafah beserta syariah yang diterapkan dapat mewujudkan kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi rakyatnya. Sudah terbukti selama berabad-abad diterapkan Khilafah memberikan kesejahteraan luar biasa kepada umatnya.
Hanya dengan tegaknya Khilafah, kontradiksi yang terjadi di negeri ini dan negeri-negeri Muslim lainnya—yakni kekayaan alam yang melimpah-ruah, namun rakyatnya menderita—dapat teratasi. Penguasan kekayaan alam oleh segelintir orang juga tidak terjadi lagi. Lalu hidup sejahtera bukan sekadar harapan, namun dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Dengan tegaknya Khilafah, seluruh syariah dapat diterapkan secarakaffah. Amar makruf nahi mungkar juga dapat dijalankan secara sempurna. Barakah dari Allah SWT akan dilimpahkan dari langit dan bumi. Ridha dan pertolongan-Nya juga akan diberikan. Singkat kata, Indonesia pasti lebih baik dengan syariah dan Khilafah. Bahkan kebaikan itu akan menyebar ke seluruh negeri-negeri Muslim lainnya dan seluruh seantero dunia! Pada akhirnya, umat Islam, umat yang dimuliakan Allah ini, benar-benar menjadi khayru ummah; umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Islam juga mewujud rahmat[an] li al-‘âlamîn, menebarkan rahmat untuk seluruh alam semesta.
Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah di akhir zaman diberitakan Rasulullah dalam sabdanya.
يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya (HR Muslim).
يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya (HR Muslim).
Oleh karena itulah, Indonesia tidak akan menuju menjadi negara gagal jika mau menerapkan Syariah dalam bingkai Khilafah. Wallahu’ Alam bis Showab.
Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id
0 komentar:
Posting Komentar