Minggu, 02 September 2012

Kedatangan Hillary dinilai tak berbeda dengan kehadiran mantan Menlu AS Condolezza Rice lalu untuk menguasai Blok Cepu.
Kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) Hillary Clinton ke Jakarta pada Senin (3/9) mendatang dinilai untuk ‘mengurusi’ mentoknya renegosiasi kontrak antara pemerintah RI dengan PT.Freeport McMoran, kontraktor tambang tembaga dan emas di Pegunuangan Grasberg, Papua.
“Kedatangan Hillary Clinton adalah bagian untuk mengamankan dan memastikan kepentingan ekonomi AS di Indonesia, khususnya perusahaan tambang PT.Freeport, agar bisa mengeruk emas, perak, tembaga dan uranium dari Papua sesuai kontrak yang menguntungkan mereka selama ini,” Ketua Relawan Pembela Demokrasi (Repdem), Masinton Pasaribu, dalam rilis yang diterima, Jakarta, hari ini.
Menurut Masinton, kedatangan Hillary tak berbeda dengan kehadiran mantan Menlu AS Condolezza Rice di Jakarta pada 15 Maret 2006 lalu. Saat itu, Condy, sapaan akrab Nyonya Rice, datang untuk memperteguh dominasi penguasaan AS terhadap sumber cadangan minyak terbesar Indonesia di Blok Cepu. Ketika itu, pemerintah SBY diminta menyerahkan kepada ExxonMobil, sebuah perusahaan minyak asal AS.
Masinton menjelaskan pertambangan PT Freeport di Papua sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 45 tahun. Dijabarkannya, berdasarkan hitungan Kwik Kian Gie yang merupakan mantan Menko Perkonomian, hingga tahun 2011, Freeport memperoleh 7,3 ton tembaga dan 724,7 juta ton emas.
Jika diambil komoditas emas saja, lanjut Masinton, dengan harga Rp500.000 per gram, nilainya setahun 724.700.000 gram dikalikan Rp 500.000, maka setara Rp362.350 triliun. “Dari angka itu, Freeport mendapatkan pemasukan sekitar Rp8.426 triliun pertahun, dimana Indonesia hanya mendapat royalti 1 persennya yakni Rp80 triliun setahun, sisanya dibawa ‘kabur’ ke AS,” tutur dia.
Ditambahkan Masinton, jika hasil emas yang dihitung oleh Kwik Rp8.426 triliun ditambahkan hasil perak dan tembaga, maka total yang sudah dikeruk PT Freeport berjumlah sangat besar, yakni berkisar Rp 10.000 triliun. “Kesepakatan sekecil apapun renegosiasi antara pemerintah SBY dengan Freeport wajib disampaikan ke publik dan harus mendapatkan persetujuan rakyat Indonesia, khususnya rakyat di Papua,” ungkap dia.
Untuk mendukung pemerintah agar berani memperjuangkan kontrak yang lebih adil, bertepatan dengan kedatangan Hillary Clinton, Masinton mengatakan pihaknya akan mendatangi Kedutaan Besar AS di Jakarta pada Senin (3/9) depan. “Kami akan menyampaikan sikap tegas kami menolak keberadaan PT.Freeport di Papua, Indonesia. Serta menolak segala bentuk intervensi dan penjajahan AS di Indonesia,” tandasnya. (beritasatu.com, 31/8/2012)

0 komentar:

Posting Komentar